Create your own Animation/a>>Create your own AnimationPhotobucketToko Buku Online
bisnis gratisan
Peluang Anda Menuju Sukses
MENERIMA PENDAFTARAN LOKET PEMBAYARAN RESMI LISTRIK, TELKOM, PULSA, DLL (PPOB). Silahkan SMS NO. HP, NAMA DAN ALAMAT ANDA Sekarang!!! Buku Best Seler: 8 Etos Kerja Profesional (Jansen),Kepemimpinan Kepala Sekolah(Wahyudi),Menjadi Kepala Sekolah yang Profesional(Mulyasa),Menjadi Guru Profesional(Mulyasa), Kemampuan Profesional Guru & Tenaga Kependidikan(Sagala), Profesionalisasi & Etika Profesi Guru(Danim), Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif(Trianto), Model-Model Pembelajaran Mutakhir(Isjoni), Analisa Data Penelitian Menggunakan SPSS(Sarwono). Ingin pesan minimal 3 buku dgn judul yang berbeda

Kamis, 31 Maret 2011

ETOS KERJA GURU



1. Pengertian Etos Kerja
“Etos” dari sudut pandang bahasa berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang bermakna watak atau karakter. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:271) makna lengkap “etos” adalah karakteristik, sikap, kebiasaan, kepercayaan, dan seterusnya, yang bersifat khusus tentang individu atau sekelompok manusia. Dalam Webster’s News World Dictionary of the American Languange (1980) dikemukakan istilah “etos” berhubungan dengan “etika”, “etis”, yakni kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok atau organisasi. Sedangkan (Echols dan Shadily 1994;219) mengartikan “etos” sebagai jiwa khas suatu kelompok manusia. Berdasarkan jiwa yang khas itulah berkembang pandangan seseorang individu atau kelompok (organisasi) tentang sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk.
Etos kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:271) diartikan sebagai semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesuatu kelompok. Dalam pengertian seperti inilah, maka negara industri baru (INC = Newly Industrializing Countries) seputas Indonesia, yaitu Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapore, seringkali disebut sebagai “Little Dragong” (naga-naga kecil). Maksudnya, NIC adalah negara konfusionis, yaitu penganut ajaran Kong Hu Cu, dengan naga sebagai binatang mitologis dalam sistem kepercayaan mereka. Dengan ungkapan lain, sebutan itu menunjukkan anggapan bahwa NIC menjadi maju adalah berkat ajaran atau etika Kong Hu Cu. Dengan begitu, maka untuk kemajuan negara-negara tersebut ; Kreditan, pujian, dan penghargaan diberikan kepada ajaran-ajaran Kong Hu Cu, dengan pandangan yang hampir memastikanbahwa negara-negara itu maju karena ajaran filsuf Cina itu. Selanjutnya kesimpulanpun dibuat bahwa etika Kong Hu Cu memang relevan, bahwa begitu mendukung bagi usaha-usaha modernisasi dan pembangunan bangsa industrial (Tu Wei-Ming 1984:20). Disisi lain ternyata etos kerja sangat sarat dengan persoalan sikap yang ada pada seseorang dalam melakukan kerjanya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Myrdal (dalam Soebagio Atmowirio, 2000:214) bahwa etos kerja adalah sikap kehendak seseorang yang diekspresikan lewat semangat yang didalamnya termuat tekanan-tekanan moral dan nilai-nilai tertentu. Myrdal lebih jauh mengemukakan pula bahwa etos kerja merupakan sikap yang diambil berdasarkan tanggung jawab moralnya : (1) kerja keras, (2) efisiensi, (3) kerajinan, (4) tepat waktu, (5) prestasi, (6) energetik, (7) kerja sama, (8) jujur, (9) loyal. Etos kerja yang jelas menggambarkan hal-hal yang bersifat normatif sebagai sikap kehendak yang dituntut agar dikembangkan. Tindak lanjut dari etos kerja ini yaitu meningkatnya kualitas kerja para guru sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dalam setiap semester maupun periode tahunan.
Berdasarkan batasan diatas, etos kerja guru dapat dijadikan sebagai suatu pokok pikiran utama dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia, dimana etos kerja guru tersebut dalam suatu organisasi sekolah mutlak dibutuhkan untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas proses pelaksanaan tugas pembelajaran disatuan pendidikan sekolah. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat dicapai. Dengan begitu bangsa Indonesia dapat mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa maju lainnya dikawasan Asia khususnya dan dunia pada umumnya.
Etos kerja guru yang tinggi akan banyak menentukan keberhasilan usaha dan proses pembelajaran di sekolah. Karena itu, masalah tersebut menarik untuk diperhatikan dan dianalisis dalam suatu organisasi sekolah yang didalamnya menyangkut berbagai keputusan termasuk keputusan para guru itu sendiri. Mengenai etos kerja ini, Soebagio Atmowirio (2000:232) mengemukakan bahwa etos kerja merupakan pandangan dan sikap seseorang dalam menilai apa arti kerja sebagai bagian dari hidup dalam rangka meningkatkan kehidupannya. Selanjutnya Soebagio Admowirio (2000:233) secara lebih spesifik menjelaskan pengertian etos kerja sebagai berikut : Etos kerja adalah landasan untuk meningkatkan prestasi kerja/kinerja setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mengacu pada batasan tersebut, maka etos kerja guru dalam menjalankan tugasnya disekolah. Dalam hal ini etos kerja guru dipandang dari segi pelaksanaan tugas-tugas profesionalisme.                                                                                                                   
2. Etos Kerja Guru
Dalam upaya meningkatkan etos kerja guru, menurut Wahjosumidjo (1999:92), bahwa “kepala sekolah adalah seorang yang dapat menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah”. Jika kepala sekolah cakap maka tentunya akan besar perhatiannya pada etos kerja baik yang menyangkut guru maupun peserta didik sejak masuk sekolah sampai dengan kembali kerumah masing-masing. Kepala sekolah juga berpikir dan berusaha bagaimana guru merasa nyaman di sekolah, senang dalam bekerja dan memperoleh kesejahteraan yang memadai.
Sejalan dengan itu Sergiovanni (1987:269), menyebutkan:  “School Improvement requires a strong commitment from the principle”. Pernyataan tersebut memberikan pengertian bahwa perbaikan sekolah itu sesungguhnya berada pada komitmen kuat kepala sekolah. Oleh sebab itu kepala sekolah juga di tuntut untuk memiliki kemampuan, terampil, cerdas untuk mewujudkan iklim kerja  yang sehat, sehingga akan tercipta etos kerja pada guru di sekolah. Jika iklim suatu organisasi dapat merangsang iklim kerja, tersedia sarana dan prasarana yang memadai bagi para guru dan peserta didik, maka iklim kerja yang demikian akan memberikan sumbangan yang besar bagi peningkatan etos kerja guru.
Disamping itu, guru sangat memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Terbukti bahwa peran dan fungsi guru di dalam proses belajar mengajar masih sangat dominan. Dengan demikian agar tujuan pendidikan dapat berhasil baik dan optimal sangat tergantung pada peran guru.
Dalam meningkatkan etos kerja, guru senantiasa diperhadapkan pada peningkatan kualitas pribadi dan sosialnya. Jika hal ini dapat dipenuhi maka keberhasilan lebih cepat diperoleh, yaitu mampu melahirkan peserta didik yang berbudi luhur, memiliki karakter sosial dan profesional sebagaimana yang menjadi  tujuan pokok pendidikan itu sendiri. Menurut Thoifuri (2007:3-4), bahwa karakter pribadi dan sosial bagi guru dapat diwujudkan sebagai berikut:
1.     Guru hendaknya pandai, mempunyai wawasan luas.
2.     Guru harus selalu meningkatkan keilmuannya.
3.     Guru meyakini bahwa apa yang disampaikan itu benar dan bermanfaat.
4.     Guru hendaknya berpikir obyektif dalam menghadapi masalah.
5.     Guru hendaknya mempunyai dedikasi, motivasi dan loyalitas.
6.     Guru harus bertanggung jawab terhadap kualitas dan kepribadian moral
7.     Guru harus mampu merubah sikap siswa yang berwatak manusiawi.
8.     Guru harus menjauhkan diri dari segala bentuk pamrih dan pujian.
9.     Guru harus mampu mengatualisasikan materi yang disampaikan
10. Guru hendaknya banyak inisiatif sesuai perkembangan iptek.

Karakter guru tersebut di atas merupakan ciri kehidupan seorang guru yang amat fundamental dan dengan keprofesionalan guru itulah akan terjadi motivasi, dinamisasi dan demokratisasi pemikiran yang akan mengarah kepada kreaktivitas yang konstruktif  dalam menciptakan  etos kerja di masa kini dan masa yang akan datang. Untuk mewujudkan semua itu tentunya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak termasuk dari masyarakat. 
Pada tataran implementasi etos kerja guru dapat terlihat dalam kegiatan guru pada saat pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, itulah sebabnya untuk mengukur efektifitas etos kerja guru perlu mengkomparasikan dengan kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah yang cakap tentunya akan menaruh perhatian pada etos kerja bawahannya.
Salah satu teori berkaitan dengan peningkatan etos kerja sebagaimana yang dikemukan oleh Mitchel,T.R dan Larson (1987:343) bahwa indikator-indikator atau ukuran-ukuran kinerja guru meliputi : (1) kemampuan, (2) prakarsa/inisiatif, (3) ketepatan waktu, (4) kualitas hasil kerja, dan (5) komunikasi. 
1. Kemampuan Guru 
            Broke dan Stoine (dalam Wijaya & Rusyan 1992:7-8),  menjelaskan bahwa kemampuan merupakan gambaran hakikat kualitatif dari  perilaku guru atau tenaga kependidikan yang tampak sangat berarti. Sedangkan Robins,1998:46 (dalam Sitio 2006),  mendefinisikan kemampuan adalah kapasitas individu melaksanakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. 
            Charles E. Jhonsons et al (1974:3) (dalam Wijaya dan A. Tabrani Rusyan 1992:8), mendefinisikan bahwa kemampuan merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Kemampuan merupakan salah satu hal yang harus dimiliki dalam jenjang apapun karena kemampuan memiliki kepentingan tersendiri dan sangat penting untuk dimiliki oleh guru. Berhasil tidaknya pendidikan pada sebuah sekolah salah satu komponennya ialah guru itu sendiri. 
2. Inisiatif Guru 
          Menurut kamus Bahasa Besar Indonesia inisiatif berarti usaha sendiri, langkah awal, ide baru. Berinisiatif berarti mengembangkan dan memberdayakan sektor kreatifitas daya pikir manusia, untuk merencanakan idea atau buah pikiran menjadi konsep yang baru yang pada gilirannya diharapkan dapat berdaya guna dan bermanfaat. 
          Manusia yang berinisiatif adalah manusia yang tanggap terhadap segala perkembangan yakni manusia yang pandai membaca, menghimpun dan meneliti, manusia yang inisiatif juga dapat memanfaatkan setiap peluang di setiap pergantian waktu, dan menjadikannya sebagai kreasi yang berarti. 
          Keistimewaan dari inisiatif ini sendiri yaitu mampu mencermati kreasi Tuhan, selanjutnya menjadikan bahan renungan atau kreatifitas berpikir dalam semua waktu dan tempat, kemudian membuat kreasi baru (karya baru) atau berinisiatif memproduksi semua potensi menjadi berdaya guna.
3.  Ketepatan Waktu Kerja 
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, sebelum masuk dalam sebuah organisasi pendidikan seorang guru tentu mempunyai aturan, nilai dan norma sendiri, yang merupakan proses sosialisasi dari keluarga atau masyarakatnya. Seringkali terjadi aturan, nilai dan norma diri yang tidak sesuai dengan aturan-aturan sekolah yang ada. Hal ini menimbulkan konflik sehingga orang mudah tegang, marah, atau tersinggung apabila orang terlalu menjunjung tinggi salah satu aturannya. Misalnya, seorang guru yang selalu tepat waktu mengajar sementara itu iklim di sekolah kurang menjunjung tinggi nilai-nilai penghargaan terhadap waktu. Jika guru tersebut memegang teguh prinsip-prinsipnya sendiri, ia akan tersisih dari teman sekerjanya. Demikian sebaliknya, jika ikut arus maka ia akan mengalami stres, oleh karenanya ia harus menyesuaikan diri; tidak ikut arus, tetapi juga tidak kaku. Ia jika perlu mempelopori kepatuhan terhadap waktu kepada teman sejawatnya.
Ketepatan waktu dalam melaksanakan tugas diartikan sebagai sikap seseorang atau kelompok yang berniat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dalam kaitannya dengan pekerjaan, pengertian ketepatan waktu atau  disiplin kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan karyawan terhadap peraturan organisasi. Niat untuk mentaati peraturan menurut Suryohadiprojo (1989:65) merupakan suatu kesadaran bahwa tanpa didasari unsur ketaatan, tujuan organisasi tidak akan tercapai. Hal  itu berarti bahwa sikap dan perilaku di dorong adanya kontrol diri yang kuat. Artinya,sikap dan perilaku untuk mentaati peraturan organisasi muncul dari dalam dirinya. Niat juga dapat diartikan sebagai keinginan untuk berbuat sesuatu atau kemauan untuk menyesuaikan diri dengan aturan-aturan. Sikap dan perilaku dalam disiplin kerja ditandai oleh berbagai inisiatif, kemauan, dan kehendak untuk mentaati peraturan. Artinya, orang yang dikatakan mempunyai disiplin yang tinggi tidak semata-mata patuh dan taat terhadap peraturan secara kaku dan mati, tetapi juga mempunyai kehendak (niat).
4.  Kualitas Hasil Kerja Guru
Pengertian kualitas hasil kerja disebut juga sebagai kinerja atau dalam bahasa Inggris disebut dengan performance. Pada prinsipnya, ada istilah lain yang lebih menggambarkan pada “kualitas” atau “prestasi” dalam bahasa Inggris yaitu kata “achievement”. Tetapi karena kata tersebut berasal dari kata “to achieve” yang berarti “mencapai”, maka dalam bahasa Indonesia sering diartikan menjadi “pencapaian” atau “apa yang dicapai”. (Ruky, 2001:15). Menurut  Hasibuan (1990), prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan, serta waktu.
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa kualitas kerja lebih menekankan pada hasil atau yang diperoleh dari sebuah pekerjaan sebagai kontribusi pada sekolah atau standar pencapaian hasil akhir dari guru-guru yang ada di sekolah dalam memnuhi kebutuhan dari peserta didik. Untuk meningkatkatkan kualitas hasil kerja tentunya dipengaruhi oleh faktor organisasional (sekolah) dan factor personal.
Faktor organisasional meliputi sistem imbal jasa, kualitas pengawasan, beban kerja, nilai dan minat, serta kondisi fisik dari lingkungan kerja. Diantara berbagai faktor organisasional tersebut, faktor yang paling penting adalah faktor sistem imbal jasa, dimana faktor tersebut akan diberikan dalam bentuk gaji, bonus, ataupun promosi. Selain itu, faktor organisasional kedua yang juga penting adalah kualitas pengawasan (supervision quality), dimana seorang bawahan dapat memperoleh kepuasan kerja jika atasannya lebih kompeten dibandingkan dirinya.
Sementara faktor personal meliputi ciri sifat kepribadian (personality trait), senioritas, masa kerja, kemampuan ataupun keterampilan yang berkaitan dengan bidang pekerjaan dan kepuasan hidup. Untuk faktor personal, faktor yang juga penting dalam mempengaruhi prestasi kerja adalah faktor status dan masa kerja. Pada umumnya, orang yang telah memiliki status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya telah menunjukkan prestasi kerja yang baik. Status pekerjaan tersebut dapat memberikannya kesempatan untuk memperoleh masa kerja yang lebih baik, sehingga kesempatannya untuk semakin menunjukkan prestasi kerja juga semakin besar.
Di samping itu juga prestasi kerja seseorang tergantung juga dari  kesempatan, kapasitas, dan kemauan untuk melakukan prestasi. Kapasitas terdiri dari usia, kesehatan, keterampilan, inteligensi, keterampilan motorik, tingkat pendidikan, daya tahan, stamina, dan tingkat energi. Kemauan terdiri dari motivasi, kepuasan kerja, status pekerjaan, kecemasan, legitimasi, partisipasi, sikap, persepsi atas karakteristik tugas, keterlibatan kerja, keterlibatan ego, citra diri, kepribadian, norma, nilai, persepsi atas ekspektasi peran, dan rasa keadilan. Sedangkan kesempatan meliputi alat, material, pasokan, kondisi kerja, tindakan rekan kerja, perilaku pimpinan, mentorisme, kebijakan, peraturan, prosedur organisasi, informasi, waktu, serta gaji yang didapatkan. 
5.  Komunikasi Guru 
Komunikasi merupakan bagian yang penting dalam kehidupan kerja. Hal ini mudah dipahami sebab komunikasi yang tidak baik bisa mempunyai dampak yang luas terhadap kehidupan organisasi , misalnya konflik antar guru, dan sebaliknya komunikasi yang baik dapat meningkatkan saling pengertian, kerjasama dan juga kepuasan kerja. Mengingat yang bekerjasama dalam suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan merupakan sekelompok sumber daya manusia dengan berbagai karakter, maka komunikasi yang terbuka harus dikembangkan dengan baik. Dengan demikian masing-masing pegawai dalam organisasi mengetahui tanggung jawab dan wewenang masing-masing. Guru-guru yang mempunyai kompetensi komunikasi yang baik akan mampu memperoleh dan mengembangkan tugas yang diembannya, sehingga tingkat kinerjanya menjadi semakin baik. Komunikasi memegang peranan penting di dalam menunjang kelancaran aktivitas pegawai di sekolah. Adapun komunikasi yang di bangun di sekolah ini antara lain:
a.      Komunikasi ke bawah (downward communication) atau komunikasi kepala sekolah dengan para guru dan staf tata usaha.
      Yaitu komunikasi yang datang dari kepala sekolah SMP Negeri 5 Bitung kepada seluruh warga sekolah dan bersifat intern. Seperti instruksi tugas, rasionalisasi pekerjaan, informasi, idiologi, dan balikan.
b.     Komunikasi keatas (upward communication) atau komunikasi guru dan karyawan kepada kepala sekolah.
Adalah arus komunikasi yang bergerak dari bawah keatas. Pesan yang disampaikan antara lain laporan pelaksanaan pekerjaan, keluhan guru, sikap dan perasaan guru tentang kendala yang dihadapi pada proses kegiatan belajar mengajar, pengembangan media pembelajaran, informasi tentang pembagian jadwal mengajar dan hasil yang dicapai oleh siswa, dll.
c.      Komunikasi Horisontal (horizontal comunication)
Komunikasi yang di bangun di antara para guru-guru mata pelajaran, guru kelas dalam rangka  kerja yang sama demi untuk meningkatkan hasil belajar siswa serta kemajuan sekolah.
      3. Fungsi dan Manfaat Etos Kerja Guru
Pada umumnya berbicara etos kerja sangat terkait dengan peningkatan kualitas kerja seseorang dalam suatu kekuatan. Itulah sebabnya, menurut Soebagio Atmowirio sebagaimana dikemukakan diatas mengatakan bahwa etos kerja itu merupakan landasan untuk meningkatkan unjuk kerja guru. Etos kerja dengan demikian berfungsi secara fundamental sebagai landasan pencapaian unjuk kerja yang tinggi. Dalam hal etos kerja ini, Triguno (2002:9) menyatakan bahwa program peningkatan etos (budaya) kerja memiliki arti yang sangat fundamental bagi setiap organisasi, karena akan merubah sikap dan perilaku sumber daya manusia untuk mencapai produktivitas kerja atau unjuk kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan. Lanjut Triguno, manfaat yang didapat dari membudayanya etos kerja antara lain sebagai berikut: menjamin hasil kerja dengan kualitas yang lebih baik, membuka seluruh jaringan komunikasi, keterbukaan, kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan, menemukan kesalahan dan cepat memperbaiki, cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan dari luar (faktor eksternal seperti pelanggan, teknologi, sosial, ekonomi, dan lain-lain), mengurangi laporan berupa data-data dan informasi yang salah dan palsu. Selain manfaat diatas, etos kerja yang tinggi pada dasarnya akan menjadikan tingkat efesiensi dalam melakukan pekerjaan tinggi, kerajinan meningkat atau tingkat absensi kurang, sikap tepat waktu atau disiplin, bersedia untuk melakukan perubahan atau fleksibel, kegesitan dalam mempergunakan kesempatan-kesempatan yang muncul, siap bekerja, dan sikap bekerjasama.
Hal diatas senada dengan Triguno (2002:9) yang menyatakan bahwa terciptanya etos kerja yang tinggi yang disebutnya sebagai budaya kerja akan meningkatkan kepuasan kerja, pergaulan yang lebih akrab, disiplin meningkat, pengawasan fungsional berkurang, pemborosan berkurang (efisien), tingkat absensi turun, ingin belajar terus, ingin memberikan yang terbaik bagi organisasi dan lain-lain.
Selanjutnya Wolseley & Campbell (dalam Triguno, 2002: 9-10) menyatakan sebagai berikut :
1.     Orang yang terlatih melalui kelompok budaya kerja akan menyukai kebebasan, pertukaran pendapat, terbuka bagi gagasan-gagasan baru dan fakta baru dalam usahanya untuk mencari kebenaran, mencocokkan apa yang ada padanya dengan kedahsyatan dan daya imajinasi seteliti mungkin dan seobjektif mungkin.
2.     Orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan memecahkan permasalahan sebara mandiri dengan bantuan keahliannya berdasarkan metode ilmu pengetahuan, dibangkitkan oleh pemikiran yang kritis kreatif, tidak menghargai penyimpangan akal bulus dan pertentangan.
3.     Orang yang terdidik melalui kelompok budaya kerja berusaha menyesuaikan diri antara kehidupan pribadinya dengan kebiasaan sosialnya, baik nilai-nilai spiritual maupun standar-standar etika yang fundamental untuk menyerasikan kepribadian dan moral karakternya.
4.     Orang yang terdidik dalam kelompok budaya kerja mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan umum dan keahlian-keahlian khusus dalam mengelola tugas atau kewajiban dan bidangnya, demikian juga dengan hal berproduksi dan pemenuhan kebutuhan hidupnya.
5.     Orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan memahami dan menghargai lingkungannya seperti alam, ekonomi, sosial, politik, budaya dan menjaga kelestarian sumber-sumber alam, memelihara stabilitas dan kontinuitas masyarakat yang bebas sebagai suatu kondisi yang harus ada.
6.     Orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja berpartisipasi dengan loyal kepada kehidupan rumah tangganya, sekolah, masyarakat dan bangsanya, penuh tanggung jawab sebagai manusia merdeka dengan mengisi kemerdekaannya, serta memberi tempat secara berdampingan kepada oposisi yang bereaksi dengan yang memegang kekuasaan sebaik mungkin.
Dari keenam manfaat budaya kerja atau etos kerja sebagaimana dikemukakan Wolseley & Campbell di atas, jelaslah bahwa peningkatan etos kerja ini menjadi mutlak sekaligus pilihan orientasi bangsa kini dan dimasa depan. Hal ini penting, mengingat bahwa bangsa Indonesia memang menderita kelemahan etos kerja (Louis Kraar dalam majalah Reader’s Digest edisi 1988:44), keberhasilan Jepang, Cina dan Korea, misalnya dalam membangun perekonomian mereka adalah karena etos kerja yang memiliki bangsa-bangsa itu tinggi. Artinya etos kerja memberikan manfaat yang signifikan terhadap pencapaian prestasi kerja atau untuk unjuk kerja guru tinggi dan berkualitas.
     4. Langkah-langkah Pengembangan Etos Kerja Guru
Pengembangan etos kerja pada dasarnya merupakan suatu upaya  yang bersifat wajib dilakukan oleh setiap guru, kepala sekolah maupun staf administrasi. Usaha untuk mengembangkan etos kerja guru terfokus pada peningkatan produktifitas mengajar yang dilakukan oleh guru di sekolah. Secara umum  menurut Triguno (2002: 141-142) upaya yang harus ditempuh dalam pengembangan  etos kerja tersebut adalah sebagai berikut :
1.     Peningkatan produktifitas melalui penumbuhan etos kerja.Tumbuhnya etos kerja akan memberikan suatu formulasi baru dalam meningkatkan potensi pribadi yang dimiliki oleh setiap guru di jenjang pendidikan formal.
2.     Sistim pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang memerlukan berbagai keahlian dan ketrampilan yang dapat meningkatkan kreativitas, produktivitas, kualitas, dan efisiensi kerja.
3.     Dalam melanjutkan dan meningkatkan pembangunan khususnya dalam bidang pendidikan sebaiknya nilai budaya Indonesia terus dikembangkan dan dibina guna mempertebal rasa harga diri dan nilai pendidikan sangat dibutuhkan dalam mengedepankan etos kerja para guru yang ada di lembaga pendidikan.
4.     Disiplin nasional harus terus dibina dan dikembangkan untuk memperoleh sikap mental manusia yang produktif.
5.     Menggalakkan partisipasi masyarakat, meningkatkan dan mendorong agar terjadi perubahan dalam masyarakat tentang tigkah laku, sikap serta psikologi masyarakat. Dampak dari etos kerja para guru yang ada dalam suatu lembaga pendidikan formal tidak lain adalah sebagaimana paparan tersebut diatas. Contoh yang positif terhadap masyarakat tentang cara dalam meningkatkan etos kerja yang diharapkan.
6.     Menumbuhkan motifasi kerja, dari sudut pandang pekerja, kerja berarti pengorbanan, baik itu pengorbanan waktu senggang atau kenikmatan hidup lainnya, semantara itu upah merupakan ganti rugi dari segala pengorbanannya itu. Bagi guru, dimensi seperti yang diharapkan diatas sangat memberi peluang yang besar dalam meningkatkan etos kerjanya.
Upaya-upaya pengembangan etos kerja diatas paling tidak harus terus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Tanpa dilakukan secara teratur, mustahil suatu jenis pekerjaan dapat memberikan suatu peningkatan hasil dan kondusifitas pekerjaan dapat berjalan dengan baik. Upaya seperti ini perlu direalisasikan apabila tujuan-tujuan yang telah disepakati tercapai dalam suatu tatanan pekerjaan dalam rangka membentuk sikap mental dan etos kerja lebih bersifat produktif. Relefansi peningkatan etos kerja guru ini karena sekolah sebagai organisasi yang melibatkan tenaga kerja manusia, khususnya dalam meningkatkan produktifitas kerja sesuai dengan target waktu dan usaha yang ditetapkan oleh setiap sekolah sebagai sebuah organisasi.
Suatu hal yang menarik jika dicermati secara serius, bahwa lembaga pendidikan sekarang ini sangat antusias untuk mengubah tatanan kerja yang kurang kondusif, menjadikan sekolah sebagai lembaga yang benar-benar kondusif dengan etos kerja anggota organisasinya yang ideal sebagaimana batasan yang dikemukakan diatas. Langkah-langkah seperti itu merupakan suatu upaya untuk meningkatkan etos kerja seorang guru sebagai pekerja pendidikan. Bagi guru, etos kerja bukan hal yang baru, sebab etos kerja sudah merupakan tuntutan profesionalisme seorang guru. Etos kerja yang tinggi sudah harus menjadi komitmen guru ketika dia harus mengabdikan dirinya dalam suatu kegiatan mengajar, mendidik dan memimpin, serta mengelolah anak didik di sekolah. Artinya bahwa etos kerja telah ada pada guru ketika dia telah diperhadapkan dengan jenis pekerjaan tersebut, hanya saja tingkat pengembangan etos kerja yang ada perlu dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan.
Barometer sikap mental seorang guru dapat meningkatkan etos kerjanya sangat terkait dengan seberapa besar pengorbanannya dalam melakukan upaya-upaya perbaikan dalam pelaksanaan tugasnya (Triguno 2002:3). Lanjut Triguno, hal tersebut dapat dilihat dari sejauh mana tingkat komitmen diri para guru untuk menumbuhkan etos kerja sebagaimana yang diharapkan, meningkatkan disiplin kerja sesuai dengan aturan yang telah disepakati, serta menumbuhkan sikap-sikap inovatif dalam pekerjaannya. Untuk itulah dalam konteks lembaga sekolah, perlu adanya motifasi yang kuat dari dalam diri maupun dari luar diri guru untuk mengembangkan etos kerja yang maksimal. Peningkatan etos kerja merupakan bagian dari motivasi yang kuat dalam memberikan dorongan pemikiran dan kebijaksanaan yang tertuang dalam perencanaan dan program yang terpadu dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi eksteren maupun interen organisasi.
Dari pembahasan tersebut di atas, menurut penulis setiap orang pasti punya masalah dengan semangat kerja? Jangan gundah gulana, anda tidak sendirian. Banyak orang lain yang punya problem serupa. Namun, bukan tidak ada solusinya! Hampir semua orang pernah mengalami gairah kerjanya melorot.
Cara terbaik untuk mengatasinya, dengan langsung membenahi pangkal masalahnya, yaitu motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara sistematis, Jansen (2010:24) memetakan motivasi kerja dalam konsep yang ia sebut sebagai “Delapan Etos Kerja Profesional” yaitu:
v  Etos pertama: Kerja adalah rahmat.
Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, guru sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun. Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah. Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahanan 
v  Etos kedua: Kerja adalah amanah.
Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya. 
v  Etos ketiga: Kerja adalah panggilan.
Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah darma. Seperti darma Yudistira untuk membela kaum Pandawa. Seorang perawat memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat. Jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, “I’m doing my best!” Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya. 
v  Etos keempat: Kerja adalah aktualisasi.
Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk bengong tanpa pekerjaan.
Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial manusia. Dengan bekerja, misalnya, seseorang bisa berjabat tangan dengan rasa percaya diri ketika berjumpa dengan temannya. “Perkenalkan, nama Saya Zakir Hubulo,S.Sos,M.Pd Guru Profesional Sosiologi sekaligus Waka Hubmas MA Yaspib Bitung.(Mantap To...) 
v  Etos kelima: Kerja itu ibadah.
Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata. Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti ini:
Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang berdiri di samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia menjawab, “Manusia memang tak bisa menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa melihatnya.” Motivasi kerjanya telah berubah menjadi motivasi transendental. 
v  Etos keenam: Kerja adalah seni.
Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi. Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya.
“Antusiaslah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi,” katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus-rumus fisika yang sangat rumit itu dengan kata sifat beautiful. 
v  Etos ketujuh: Kerja adalah kehormatan.
Serendah apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita. Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.
v  Etos kedelapan: Kerja adalah pelayanan.
Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercu suar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama. Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km! Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal.
Menurut Jansen, kedelapan etos kerja yang ia gagas itu bersumber pada kecerdasan emosional spiritual. Ia menjamin, semua konsep etos itu bisa diterapkan di semua pekerjaan. “Asalkan pekerjaan yang halal,” katanya. “Umumnya, orang bekerja itu  hanya untuk mencari gaji. Padahal pekerjaan itu punya banyak sisi. Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga mencari makna. Rata-rata kita menghabiskan waktu 30-40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke haribaan Tuhan. Manusia itu makhluk pencari makna. Kita harus berpikir, untuk apa menghabiskan waktu 40 tahun bekerja. Itukan waktu yang sangat lama.
Ada dua aturan sederhana supaya kita bisa antusias pada pekerjaan. Pertama, mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat. Dengan begitu, bekerja akan terasa sebagai kegiatan yang menyenangkan.
Jika aturan pertama tidak bisa kita dapatkan, gunakan aturan kedua: kita harus belajar mencintai pekerjaan. Kadang kita belum bisa mencintai pekerjaan karena belum mendalaminya dengan benar. “Kita harus belajar mencintai yang kita punyai dengan segala kekurangannya.
Dalam hidup, kadang kita memang harus melakukan banyak hal yang tidak kita sukai. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin kita mau enaknya saja.  Dalam dunia kerja, banyak masalah yang bisa tampil dalam berbagai macam bentuk. Gaji yang kecil, teman kerja yang tidak menyenangkan, atasan yang kurang empatik, dan masih banyak lagi. Namun, justru dari sini kita akan ditempa untuk menjadi lebih berdaya tahan.
Harapan penulis, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi guru-guru dan mahasiswa pascasarjana jurusan manajemen pendidikan.

Daftar Bacaan:

Atmodiwirjo,S. 2001. Manajemen Pendidikan Indonesia.Ardadizyaa. Jakarata

Azra,A. 2002. Paradigma Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi. Penerbit Kompas. Jakarta
Bastian, Aulia Reza. 2002. Reformasi Pendidikan, Langkah-langkah Pembahruan & Pendidikan dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia.LAPPERA Pustaka Utama. Yogyakarta.
Creswell,J.W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting anda Evaluating Quantitative anda Qualitative Research (3rd ed). Upper Aaddle River, New Jersey: Pearson Education Inc.
Danim,S. 2002. Inovasi Pendidikan, dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Penerbit Pustaka Setia. Badung.
Fadjar,M. 2001. Platfrom Reformasi Pendidikan dan Pengembangan SDM. LOGOS Wacana Ilmu dan Pemikiran. Jakarta.
Handoko,T. 1996. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi 2. BPFE.Yogyakarta.
Hasibuan,M.S.P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara. Jakarta
Jansen, Sunamo.H. 2010. 8 Etos Kerja Profesional. PT.BPK Gunung Mulia. Jakarta.
Kambey,Daniel.C.1999. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yayasan Tri Ganesa Nusantara. Manado
Kamus Besar Bahasa Indoensia. 1993. Balai Pustaka. Jakarta
Thoifuri. 2008. Menjadi Guru Inisiator.RaSAIL.Semarang.

Jumat, 18 Maret 2011

Kompetensi Kepala Sekolah

A.  Pengertian Kompetensi   Kepala Sekolah
              1.    Kompetensi
Menurut Purwadarminta dalam kamus umum Bahasa Indonesia, “kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal”. Kompetensi yang ada dalam Bahasa Inggris adalah competency atau competence merupakan kata benda, menurut William D. Powell dalam aplikasi Linguist Version 1.0 (1997) diartikan: “1) kecakapan, kemampuan, kompetensi 2) wewenang. Kata sifat dari competence adalah competent yang berarti cakap, mampu, dan tangkas”.(sumber: http://dahlanforum.wordpress.com di unduh tgl 16/03/2011).
                 Sagala (2009:126) menyatakan bahwa kompetensi adalah “seperangkat pengetetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki oleh kepala sekolah dalam melaksankan tugas dan tanggungjawabnya. Dsejalan dengan itu Syah (2002:229) mengumukakan “pengertian dasar kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan”. Usman (1994:1) mengemukakan kompetensi berarti suatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif maupun kuantitatif. Mc Ahsan (1981:45) dalam Mulyasa (2003:38), mengemukakan bahwa kompetensi :
  “is a knowledge, skill, and abilities or capabilities that a person achieves,which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactory perform particular coqnitive. Affective and psychomotor behaviours.” (“Kompetensi diartikan kemampuan ketrampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.”)

Gordon (1988:109) menjelaskan beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai berikut :
1.     Pengetahuan (knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif.
2.     Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif.
3.     Kemampuan (skill), yaitu sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk  melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
4.     Nilai (value), yaitu suatu standar perilaku yang diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang.
5.     Sikap (attitude), yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang dating dari luar.
6.     Minat (interest), yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan.

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan semua pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap dasar yang harus dimiliki oleh kepala sekolah yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak yang bersifat dinamis, berkembang, dan dapat diraih dan dilaksanakan setiap waktu. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap-sikap dasar dalam melakukan sesuatu. Kebiasaan berpikir dan bertindak itu didasari oleh budi pekerti yang luhur baik dalam kehidupan pribadi, sosial,kemasyarakatan, keber-agama-an, dan kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.    Manajerial
         Secara etimologi kata manajemen berasal dari bahasa Latin yaitu “managere”. Secara morfologi kata ini terdiri dari dua kata, “manus” yang artinya tangan dan “agree” yang artinya melakukan. Gabungan dari dua kata tersebut menjadi “manager” berarti menangani atau mengendalikan. (Kambey,2006:1)
         Menurut Sanches (Kambey, 2006:2), manajemen adalah “proses mengembangkan manusia. Secara keseluruhan, proses ini dibutuhkan untuk menantang  orang untuk mengambil tujuan yang tinggi, melibatkan mereka secara signifikan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, dan menolong mereka mengembangkan hubungan kerja yang efektif, memuaskan dan produktif dalam mencapai tujuan-tujuan dari system di mana mereka adalah bahagian dari system tersebut.
         Menurut Stoner (Wahyudi, 2009:67), manajer adalah “orang yang menggunakan semua sumber daya untuk mencapai tujuan”. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Handoko (1992:15) bahwa, “manajer adalah orang yang mempunyai tanggung jawab atas bawahan dan sumber daya organisasi”. Secara lebih spesifik, Pidarta (1992:15) menjelaskan “dalam dunia pendidikan, manajer adalah seseorang yang menjalankan aktivitas untuk memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya”.
Dalam menjalankan kepemimpinannya, selain harus tahu dan paham tugasnya sebagai pemimpin, yang tak kalah penting dari semua itu seyogyanya kepala sekolah memahami dan mengatahui perannya. Adapun peran-peran kepala sekolah yang menjalankan peranannya sebagai manajer seperti yang diungkapkan oleh Wahjosumidjo (2002:90) adalah: (a) Peranan hubungan antar perseorangan; (b) Peranan informasional; (c) Sebagai pengambil keputusan.
Dari tiga peranan kepala sekolah sebagai manajer tersebut, dapat  uraikan sebagai berikut:
a. Peranan hubungan antar perseorangan
·        Figurehead, figurehead berarti lambang dengan pengertian sebagai kepala sekolah sebagai lambang sekolah.
·        Kepemimpinan (Leadership). Kepala sekolah adalah pemimpin untuk menggerakkan seluruh sumber daya yang ada di sekolah sehingga dapat melahirkan etos kerja dan peoduktivitas yang tinggi untuk mencapai tujuan.
·        Penghubung (liasion). Kepala sekolah menjadi penghubung antara kepentingan kepala sekolah dengan kepentingan lingkungan di luar sekolah. Sedangkan secara internal kepala sekolah menjadi perantara antara guru, staf dan siswa.
b. Peranan informasional
·        Sebagai monitor. Kepala sekolah selalu mengadakan pengamatan terhadap lingkungan karena kemungkinan adanya informasi-informasi yang berpengaruh terhadap sekolah.
·        Sebagai disseminator. Kepala sekolah bertanggungjawab untuk menyebarluaskan dan memabagi-bagi informasi kepada para guru, staf, dan orang tua murid.
·        Spokesman. Kepala sekolah menyabarkan informasi kepada lingkungan di luar yang dianggap perlu.
c. Sebagai pengambil keputusan
·        Enterpreneur. Kepala sekolah selalu berusaha memperbaiki penampilan sekolah melalui berbagai macam pemikiran program-program yang baru serta malakukan survey untuk mempelajari berbagai persoalan yang timbul di lingkungan sekolah.
·        Orang yang memperhatikan ganguan (Disturbance handler). Kepala sekolah harus mampu mengantisipasi gangguan yang timbul dengan memperhatikan situasi dan ketepatan keputusan yang diambil.
·        Orang yang menyediakan segala sumber (A Resource Allocater). Kepala sekolah bertanggungjawab untuk menentukan dan meneliti siapa yang akan memperoleh atau menerima sumber-sumber yang disediakan dan dibagikan.
·        A negotiator roles. Kepala sekolah harus mampu untuk mengadakan pembicaraan dan musyawarah dengan pihak luar dalam memnuhi kebutuhan sekolah. (Sumber:http://akhmadsudrajat.wordpress.com, di unduh tgl 17/03/2011)

                Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, maka manajerial merupakan seorang pemimpin atau manajer yang memiliki ketrampilan dalam menggerakkan sumber daya yang ada dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara bersama-sama.
       Manajemen pada hakekatnya merupakan suatu proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan usaha anggota-anggota organisasi serta pendayagunaan seluruh sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen sebagai suatu proses, karena semua manajer bagaimanapun juga dengan ketangkasan dan keterampilan yang khusus, mengusahakan berbagai kegiatan yang saling berkaitan dapat didayagunakan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Merencanakan, dalam arti kepala sekolah harus benar-benar memikirkan dan merumuskan dalam suatu program tujuan dan tindakan yang harus dilakukan. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah adalah kompetensi manajerial, yang antara lain menyangkut kemampuan kepala sekolah dalam menyusun perencanaan, untuk berbagai macam tingkatan perencanaan, baik jangka panjang, menengah, ataupun pendek. Perencanaan yang disusun harus merupakan rencana yang komprehensif untuk mengoptimalkan pemanfaatan segala sumber daya yang ada dan yang mungkin diperoleh guna mencapai tujuan yang diinginkan dimasa mendatang. Mengorganisasikan, berarti bahwa kepala sekolah harus menghimpun dan mengkoordinasikan sumber daya manusia dan sumber-sumber material sekolah, sebab keberhasilan sekolah sangat bergantung pada kecakapan dalam mengatur dan mendayagunakan berbagai sumber dalam mencapai tujuan. Memimpin, dalam artian kepala sekolah mampu mengarahkan dan mempengaruhi seluruh sumber daya manusia untuk melakukan tugas-tugasnya yang esensial. Dengan menciptakan suasana yang tepat kepala sekolah membantu sumber daya manusia untuk melakukan hal-hal yang baik. Mengendalikan, dalam arti kepala sekolah memperoleh jaminan bahwa sekolah berjalan mencapai tujuan. Apabila terdapat kesalahan dalam pelaksanaannya, maka kepala sekolah harus memberikan petunjuk dan arahan.
              Dari uraian di atas, seorang manajer atau seorang kepala sekolah pada hakikatnya adalah seorang perencana, organisator, pemimpin dan seorang pengendali. Keberadaan manajer pada suatu organisasi sangat diperlukan, sebab organisasi sebagai alat untuk  mencapai tujuan organisasi dimana di dalamnya berkembang berbagai macam pengetahuan, serta organisasi yang menjadi tempat untuk membina dan mengembangkan karier-karier sumber daya manusia, memerlukan manajer yang mampu untuk merencanakan, mengorganisasikan, memmpin dan mengendalikan agar organisasi dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan
3.     Kepala Sekolah
Dalam sebuah lembaga atau organisasi formal, baik kecil maupun besar dapat dijumpai adanya seorang pemimpin tanpa terkecuali, termasuk pada lembaga pendidikan. Dalam lembaga pendidikan khususnya persekolahan di tingkat dasar dan menengah, orang yang memimpin atau menjadi pemimpin terkenal dengan sebutan nama kepala sekolah.
1.     Pengertian Kepala Sekolah
Pemimpin merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah organisasi. Maju mundurnya sebuah organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan pemimpin dalam mengelola organisasinya. Demikian juga dalam organisasi pendidikan. dalam organisasi pendidikan, pemimpinnya disebut sebagai kepala sekolah.
               Kepala sekolah adalah seorang fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat dimana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran. 
Menurut Mulyono ( 2008:144), bahwa kemajuan sekolah akan lebih penting bila orang memberikan atensinya pada kiprah kepala sekolah karena alasan-alasan sebagai berikut. Pertama, kepala sekolah merupakan tokoh sentral pendidikan. Hal ini dikarenakan bahwa kepala sekolah sebagai fasilitator bagi pengembangan pendidikan, sebagai pelaksana suatu tugas yang syarat dengan harapan dan pembaharuan. Kemasan cita-cita mulia pendidikan secara tidak langsung juga diserahkan kepada kepala sekolah. Begitu pula optimisme para orang tua yang terkondisikan pada kepercayaan menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah tertentu, tidak lain karena menggantungkan cita-citanya pada kepala sekolah. Kedua, sekolah adalah sebagai suatu komunitas pendidikan yang membutuhkan seseorang pemimpin untuk mendayagunakan potensi yang ada dalam sekolah. Pada tingkatan ini, kepala sekolah sering dianggap identik , bahkan telah dikatakan bahwasanya wajah sekolah ada pada kepala sekolah. Peran kepala sekolah di sini bukan hanya sebagai seorang akumulator, melainkan juga sebagai konseptor manajerial yang bertanggung jawab pada kontribusi masing-masing demi efektivitas dan efisiensi kelangsungan pendidikan. 
2.     Tugas Kepala Sekolah
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pembentukan sikap dasar peserta didik. Karena itu disekolah perlu diciptakan iklim lingkungan pendidikan yang menyenangkan dan tertib. Terciptanya kondisi semacam itu sangat tergantung kepada kemampuan kepala sekolah dalam menjalankan tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Menurut Wahyudi, (2009:64), dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai manajer, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk mendayagunakan tenaga kependidikan melalui kerjasama atau koperatif, member kesempatan kepada para tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya, dan mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah.
Kepala sekolah yang ditetapkan sebagai pemimpin mempunyai tugas rangkap yaitu sebagai administrator yang mengurusi segala sesuatu yang berkenaan dengan administrasi di sekolah, dan sebagai supervisor yang menyelenggarakan tugas supervisi yang diselenggarakan di sekolahnya. Kepala sekolah sebagai supervisor memberikan bantuan teknis profesional kepada guru-guru dalam pengajaran. Dari deskripsi diatas, dapat ditarik konklusi bahwa tugas kepala sekolah adalah; (1) tugas administrator, yang mengurusi administrasi sekolah, (2) tugas sebagai manajer, (3) tugas sebagai pemimpin pengajaran, dan (4) tugas sebagai supervisor.
Sebagai administrator, kepala sekolah dapat mendayagunakan sumber daya yang tersedia meliputi; pengelolaan pengajaran, pengelolaan kesiswaan, pengelolaan personil, pengelolaan sarana, pengelolaan keuangan, pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat. Tugas kepala sekolah sebagai manajer bertanggungjawab mengorganisasikan serta mengkoordinasikan segala sumber material dan manusia secara efektif. Tugas sebagai pemimpin pengajaran meliputi tugas-tugas program pengembangan staf dan guru, program evaluasi dan mengadakan evaluasi staf dan guru. Sedang tugas kepala sekolah sebagai supervisor adalah memberikan bantuan teknis profesional kepada guru-guru dalam penyelenggaraan pengajaran agar dapat melaksanakan proses pembelajaran siswa secara optimal.
4. Kompetensi Kepala Sekolah
Seseorang dinyatakan kompeten di bidang tertentu jika menguasai kecakapan bekerja sebagai suatu keahlian selaras dengan bidangnya. Kepala sekolah dalam mengelola satuan pendidikan disyaratkan menguasai ketrampilan dan kompetensi tertentu yang dapat mendukung pelaksanaan tugasnya. Suhertin dalam Wahyudi (2009:28) mengartikan “kompetensi sebagai kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan”. Kompetensi diperoleh melalui berbagai macam pendidikan dan pelatihan ( diklat ) yang diikuti yang sesuai dengan standar dan kualitas tertentu dengan tugas yang akan dilaksanakan. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Supandi dalam Wahyudi (2009:28) bahwa:
“Kompetensi adalah seperangkat kemampuan untuk melakukan sesuatu jabatan, dan bukan semata-mata pengetahuan saja. Kompetensi menuntut kemampuan kognitif, kondisi afektif, nilai-nilai dan ketrampilan tertentu yang khas dan spesifik berkaitan dengan karakteristik jabatan atau tugas yang dilaksanakan.”
  Spesifikasi kemampuan  tersebut dimaksudkan agar kepala sekolah  dapat melaksanakan tugas secara baik dan berkualitas. Kepala sekolah yang memenuhi kriteria dan persyaratan suatu jabatan berarti berwenang  atas jabatan atau tugas yang diberikan dengan kata lain memenuhi persyaratan kompetensi.
Dengan demikian kompetensi kepala sekolah adalah pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan seorang kepala sekolah  dalam kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten yang memungkinkannya menjadi kompeten atau berkemampuan dalam mengambil keputusan tentang penyediaan, pemanfaatan dan pengingkatan potensi sumberdaya yang ada untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya.
 Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2007, tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, bahwa kepala sekolah harus memiliki standar kompetensi “(1) kompetensi kepribadian, (2) kompetensi manajerial, (3) kompetensi kewirausahaan, (4) kompetensi   supervisi dan (5) kompetensi sosial.”
1.  Kompetensi Kepribadian
Ketika seseorang membicarakan mengenai kepribadian  tentunya harus di lihat dari sudut padang psikologi dan harus pula dianalisis melalui psikologi kepribadian. Kepribadian merupakan suatu masalah yang abstrak, hanya dapat di lihat lewat penampilan, tindakan, ucapan, dan cara berpakaian seseorang. Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda.
Menurut Hipocrates (dalam Sagala, 2009:126) bahwa dalam diri manusia terdapat empat macam sifat yaitu tanah sifat kering terdapat dalam chole (empedu kering), air sifat basah terdapat dalam melanchole (empedu hitam), udara sifat dingin tedapat dalam phlegma (lendir), dan api sifat panas terdapat dalam sanguis (darah). Kemudian Galenus menyempurnakan pendapat Hipocrates dan membeda-bedakan kepribadian atas dasar keadaan proporsi campuran cairan-cairan. Hipocrates dan Galenus mengikhtisarkan kepribadian empat macam cairan badan yang dominan yaitu:
1.  Chole mempunyai prinsip tegangan, tipe kholeris, dan sifat khasnya hidup (besar semangat), hatinya mudah terbakar, daya juang besar, dan optimistis.
2.  Melanchole mempunyai prinsip penegaran (rigidity), tipe melankholis, dan sifat khasnya mudah kecewa, daya juang kecil, muram, dan pesimis.
3.  Phlegma mempunyai prinsip plastisitas, tipe phlegmatic, dan sifat khasnya tak suka terburu-buru (kalem, tenang), tak mudah dipengaruhi, setia.
4.  Sanguis mempunyai prinsip ekspansivitas, tipe sanguinis, dan sifat khasnya hidup, mudah berganti haluan, dan ramah.

Bagi kepala sekolah perlu memiliki kemampuan mengenal kepribadian guru dan personel lainnya dengan menggunakan tipe yang dikemukan oleh Hipocrates dan Galenus. Secara umum manusia mempunyai tipe-tipe tersebut, hanya saja ada kecenderungan yang lebih besar pada salah satu chole, melancole, phlegm, atau sanguis  jika salah satu dominan maka lainnya tidak dominan. Hal yang demikian ini selalu ditemukan bagi setiap pribadi manusia. Identitas pribadi seseorang menurut Erikson tumbuh dan terbentuk melalui perkembangan proses krisis psikososial yang berlangsung dari fase ke fase. Erikson berasumsi bahwa setiap individu yang sedang tumbuh di paksa harus menyadari dan berinterkasi dengan lingkungan sosialnya yang berkembang makin luas. Jika individu bersangkutan mampu mengatasi krisis demi krisis yang akan muncul dengan suatu kepribadian yang sehat dan ditandai dengan kemampuannya menguasai lingkungannya, fungsi-fungsi psiko fisiknya terintegrasi, dan memahami dirinya secara optimal. (Makmun, 2003:117, dalam Sagala, 2009:127)
Oleh karena itu kompetensi kepribadian merupakan suatu performansi pribadi (sifat-sifat) yang harus dimiliki seeorang. Dimensi kompetensi kepribadian kepala sekolah dalam Sagala (2009:127) dijabarkan sebagai berikut:
1.        Memiliki integritas kepribadian yang kuat sebagai pemimpin
2.        Memiliki keinginan yang kuat dalam pengembangan diri sebagai kepala sekolah
3.        Bersikap terbuka dalam melaksnakan tugas pokok dan fungsi.
4.        Mampu mengendalikan diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan sebagai kepala sekolah.
5.        Memiliki bajat dan minat jabatan sebagai pemimpin pendidikan.

2.          Kompetensi Manajerial
Seorang kepala sekolah, di samping harus mampu melaksanakan proses manajemen yang merujuk pada fungsi-fungsi manajemen, juga dituntut untuk memahami sekaligus menerapkan seluruh substansi kegiatan pendidikan.
Menurut pendapat Sanusi yang dikutip M. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2002) bahwa:
Perubahan dalam peranan dan fungsi sekolah dari yang statis di jaman lampau kepada yang dinamis dan fungsional-konstruktif di era globalisasi, membawa tanggung jawab yang lebih luas kepada sekolah, khususnya kepada administrator sekolah. Pada mereka harus tersedia pengetahuan yang cukup tentang kebutuhan nyata masyarakat serta kesediaan dan keterampilan untuk mempelajari secara kontinyu perubahan yang sedang terjadi di masyarakat sehingga sekolah melalui program-program pendidikan yang disajikannya dapat senantiasa menyesuaikan diri dengan kebutuhan baru dan kondisi baru.” (sumber: http://sujarwohart.wordpress.com di unduh tgl 16/03/2011).
Diisyaratkan oleh pendapat tersebut, bahwa kepala sekolah sebagai salah satu kategori administrator pendidikan perlu melengkapi wawasan kepemimpinan pendidikannya dengan pengetahuan dan sikap yang antisipatif terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, termasuk perkembangan kebijakan makro pendidikan. Wujud perubahan dan perkembangan yang paling aktual saat ini adalah makin tingginya aspirasi masyarakat terhadap pendidikan, dan gencarnya tuntutan kebijakan pendidikan yang meliputi peningkatan aspek-aspek pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi dan relevansi.
Kompetensi manajerial yang tertuang dalam Lampiran Peraturan  Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 Tanggal 17 April 2007 adalah sebagai berikut:
1.        Mampu menyusun perencanaan sekolah/madrasah untuk berbagai tingkatan perencanaan.
2.        Mengembangkan organisasi sekolah/madrasah sesuai dengan kebutuhan.
3.        Memimpin sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan sumber daya sekolah/madrasah secara optimal.
4.        Mengelola perubahan dan pengembangan sekolah/madrasah menuju organisasi pembelajar yang efektif.guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal.
5.        Menciptakan budaya dan iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik
6.        Mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal.
7.        Mengelola sarana dan prasarana sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan secara optimal.
8.        Mengelola hubungan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam rangka pencairan dukungan ide, sumber belajar, dan pembiayaan sekolah/madrasah.
9.        Mengelola peserta didik dalam rangka penerimaan peserta didik baru, dan penempatan dan pengembangan kapasitas peserta didik
10.    Mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajarn sesuai dengan arah dan tujuan.
       sekolah sesuai standar pengawasan yang berlaku.

3. Kompetensi Kewirausahaan
Kewirausahaan (entrepreneurship) adalah proses menciptakan sesuatu yang baru dan berani mengambil resiko dan mendapatkan keuntungan. Para ahli sepakat bahwa yang dimaksud dengan kewirausahaan menyangkut tiga prilaku yaitu : (a) kreatif, (b) komitmen (motivasi tinggi dan penuh tanggungjawab), (c) berani mengambil resiko dan kegagalan.
Dimensi kompetensi kewirausahaan kepala sekolah dalam Wahyudi (2009:31) dijabarkan sebagai berikut:
1.        Menciptakan inovasi yang berguna bagi pengembangan sekolah:
2.        Bekerja keras untuk mencapai keberhasilan sekolah
3.        Memiliki motivasi yang kuat untuk sukses dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin sekolah.
4.        Pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik dalam menghadapi kendala yaqng dihadapi sekolah.
5.        Memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/jasa sekolah sebagai sumber belajar peserta didik.

4.  Kompetensi Supervisi
            Untuk mencapai hasil yang diinginkna atau yang akan direncanakan, kepala sekolah dalam mengelola kegiatan perlu melakukan pembinaan dan penilaian. Pembinaan lebih kea rah member bantuan kepada guru-guru dan personel lainnya sedangkan penilian lebih kearah mengukur dengan cara melakukan audit mutu tentang prosedur kerja dan instruksi kerja yang telah ditetapkan secara bersama-sama dapat tercapai atau tidak.
Oleh karena itu kepala sekolah harus mempunyai kemampuan mensupervisi dan mengaudit kinerja guru dan personel lainnya di sekolah dengan kegiatan sebagai berikut:
1.     Mampu melakukan supervisi sesuai prosedur dan tehnik-tehnik yang tepat.
2.     Mampu melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan program pendidikan sesuai dengan prosedur yang tepat.
3.     Menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.

5.                  Kompetensi Sosial
            Pakar psikologi pendidikan menyebut kompetensi sosial itu sebagai social intellegence atau kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan salah satu dari sembilan kecerdasan (logika, bahasa, musik, raga, ruang, pribadi, alam, dan kuliner). Semua kecerdasan itu dimiliki oleh seseorang, hanya mungkin bebera­pa diantaranya menonjol dan yang lain biasa saja atau kurang. Uniknya beberapa kecerdasan tersebut bekerja secara terpadu dan simultan ketika seseorang berpikir dan atau mengerjakan sesuatu.
Menurut Ramly (2006:87) kepala sekolah/guru merupakan suatu cermin. Kepala sekolah/guru sebagai cermin memberikan gambaran (pantulan diri) bagaimana dia memandang dirinya, masa depannya, dan profesi yang ditekuninya. Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud dengan kompetensi sosial merupakan suatu kemampuan seorang kepalas sekolah/guru dalam hal berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan: a) peserta didik, b) sesama pendidik, c) tenaga kependidikan, d) orang tua/wali peserta didik dan e) masyarakat sekitar (Depdiknas, 2003:27). Jadi seorang kepala sekolah/guru harus: a) mampu berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, b) mampu berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan, c) mampu berkomu­nikasi secara efektif, empatif dan santun dengan orang tua peserta didik dan masyarakat, d) bersikap kooperatif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga dan status sosial ekonomi, dan e) mampu beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keberagaman sosial budaya.
Dimensi kompetensi sosial kepala sekolah dalam Wahyudi (2009:32) dijabarkan sebagai berikut:
1.        Bekerjasama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah.
2.        Berpartisipasi dalam kegiatan social kemasyarakatan.
3.        Memiliki kepekaan social terhadap orang atau kelompok lain. 
Kompetensi kepala sekolah sebagimana yang telah dipersyaratkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia tersebut di atas tentunya belum cukup untuk menjamin keberhasilan sekolah dalam mencapai  visi dan misi yang telah ditetapkan. Karena itu perlu ditambah dengan kompetensi-kompetensi yang lain yang berkaitan dengan tugas  dan fungsi kepala sekolah. Mengingat kepala sekolah dalam pengelolaan satuan pendidikan mempunyai kedudukan yang strategis dalam mengembangkan sumberdaya sekolah terutama mendayagunakan guru dalam pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Dari berbagai pendapat tentang profesionalisme atau kompetensi kepala sekolah/madrasah yang peneliti sebutkan diatas, maka perlu kiranya seorang kepala sekolah dituntut untuk profesional agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan maksimal. Setidaknya ada delapan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah untuk bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Pertama, memiliki rasa tanggung jawab yang besar atas terlaksananya seluruh kegiatan yang mendukung tercapainya tujuan sekolah/pendidikan. Kedua, memiliki kemampuan untuk memotivasi orang untuk melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan ikhlas. Ketiga, memiliki rasa percaya diri, keteladanan yang tinggi dan kewibawaan. Keempat, dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan  masyarakat dan dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah. Kelima, mampu membimbing, mengawasi dan membina bawahan (guru) sehingga  masing-masing guru  memperoleh tugas yang sesuai dengan keahliannya. Keenam, berjiwa besar, memiliki sifat ingin tahu dan memiliki pola pikir berorientasi jauh ke depan. Ketujuh, berani dan mampu mengatasi kesulitan. Kedelapan, selalu melakukan inovasi di segala hal. menjadi tuntutan yang perlu dimiliki oleh seorang kepala sekolah. 
Delapan kompetensi di atas merupakan syarat ideal kepala sekolah dalam membangun pendidikan ditengah-tengah tuntutan jaman dan tuntutan masyarakat. Jika delapan kompetensi ideal tadi belum bisa terpenuhi, maka ideal minimal seorang kepala sekolah adalah memiliki idealisme untuk memajukan sekolah, memajukan profesionalisme guru, memajukan kretifitas siswa dan membangun soft skill komunitas sekolah yang dipimpinnya.
Siapapun kepala sekolah yang memimpin suatu sekolah apabila mampu melakukan fungsi komunikasi yang baik dengan semua pihak, maka penilaian yang umum diberikan oleh guru, siswa, staf dan masyarakat sudah cukup untuk menyatakan bahwa kepala sekolah tersebut adalah kepala sekolah yang ideal memotivasi kerja, serta menciptakan budaya kerja dan budaya disiplin para tenaga kependidikan dalam melakukan tugasnya di sekolah
            Berkaitan dengan kompetensi manajerial, seorang kepala sekolah dalam menjabarkan  kemampuan yang ada tentunya harus mempertimbangan berbagai macam pendekatan dan gaya kepemimpinan agar semua sumber daya yang ada disekolah bisa dikelola dan difungsikan sesuai dengan apa yang diharapkan.
            Sharplin dalam Sagala (2000:149) menyebutkan kepemimpinan yang baik dicirikan oleh sifat-sifat : (1) manusiawi; (2) memandang jauh kedepan (visioner); (3) inspiratif (kaya akan gagasan); dan (4) percaya diri. Pemimpin yang manusiawi cukup penting, karena jika para guru di sekolah diperlakukan tidak manusiawi, maka kepala sekolah tersebut akan mendapatkan perlawanan. Bentuk perlawanan yang paling sederhana adalah para guru tersebut tidak melaksanakan tugas secara professional dengan baik, mereka akan datang kesekolah hanya memenuhi jadual yang sudah ditentukan, dan mereka tidak akan bekerja/mengajar secara maksimal. Selanjutnya kepala sekolah yang tidak mempunyai visi sekaligus tidak percaya diri dipastikan sekolah yang dipimpinnya tidak akan mampu bersaing dengan sekolah lain dan sekolah yang dipimpinnya tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bergerak dalam kegiatan yang bersifat rutin dengan apa adanya.
            Di samping itu berbagai pengalaman dan sejumlah penelitian menunjukkan bahwa seseorang untuk menjadi pemimpin harus mempunyai gaya tertentu yang digunakan agar tujuan yang dicita-citakan bersama akan terwujud. Kepemimpinan yang baik tentunya sangat berdampak pada tercapai tidaknya tujuan organisasi karena pemimpin memiliki pengaruh terhadap kinerja yang dipimpinnya. Kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan merupakan bagian dari kepemimpinan. Konsep kepemimpinan erat sekali hubungannya dengan konsep kekuasaan. Dengan kekuasaan pemimpin memperoleh alat untuk mempengaruhi perilaku para pengikutnya. Terdapat beberapa sumber dan bentuk kekuasaan, yaitu kekuasaan paksaan, legitimasi, keahlian,penghargaan, referensi, informasi, dan hubungan.
Gaya kepemimpinan adalah sikap, gerak-gerik atau lagak yang dipilih oleh seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Gaya yang dipakai oleh seorang pemimpin satu dengan yang lain berlainan tergantung situasi dan kondisi kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang dipergunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Gaya kepemimpinan adalah suatu pola perilaku yang konsisten yang ditunjukkan oleh pemimpin dan diketahui pihak lain ketika pemimpin berusaha mempengaruhi kegiatan-kegiatan orang lain.
Mc Gregor (1957) sebagaimana dikutip oleh Sagala (2000:149) merumuskan ada tiga prinsip gaya kepemimpinan yang saling berbeda, yaitu : (a) otocratic  leadership, kepemimpinan gaya otokrasi, (b) participative or democrative leadership, kepemimpinan gaya partisipatif atau demokrasi, dan (c) the lazes-faire leadership, kepemimpinan gaya bebas atau liberal. Gaya kepemimpinan yang demikian ini dapat digunakan oleh pemimpin atas dasar situasi yang menghendakinya. Fokus dalam pendekatan situasional terhadap kepemimpinan menurut Harsey dan Blanchard (1992:100) dalam Sagala (2000:149) adalah pada prilaku yang dapat diamati, tidak pada suatu kemampuan atau potensi kepemimpinan yang secara hipotesis dibawa sejak lahir atau diperoleh. Penekanan pendekatan situasional adalah para perilaku para pemimpin dan anggota kelompok (pengikut) dalam berbagai situasi.
Beberapa tahun sebelumnya Edmonds (1979) dalam Sagala (2000:149) menyimpulkan hasil penelitiannya, bahwa tidak akan pernah ditemui lembaga pendidikan yang baik dipimpin oleh :pemimpin yang mutunya rendah”. Dengan kata lain, lembaga pendidikan (sekolah) yang baik akan selalu memiliki pemimpin yang baik pula yaitu pemimpin yang visioner. Sejalan dengan itu, Ornstein dan Levine (1989) dalam Sagala (2000:149) menekankan perlunya fokus manajemen didasarkan pada lembaga yang bersangkutan, konsensus yang kuat terhadap tujuan yang jelas dan dapat diharapkan, penggunanaan waktu yang efektif, dukungan pemerintah daerah, hubungan perencanaan, sikap kolegialitas, dan komitmen organisasi yang tinggi.
Pada prinsipnya kepemimpinan kepala sekolah tidak hanya berkenaan dengan gaya yang ditampilkan, karena tidak satu gayapun yang dapat diterapkan secara konsisten pada beragam situasi sekolah. Karena itu, aspek penerapan gaya kepemimpinan tidak lebih penting dari pada persoalan kemampuan seorang kepala sekolah untuk memberlakukan semua unsur personel secara manusiawi sehingga pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu dan berkualitas sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Seorang kepala sekolah selalu memberikan kesan yang menarik, karena dalam kepemimpinan diperlukan gaya dan sikap yang sesuai dengan iklim lembaga pendidikan dan satuan pendidikan yang dipimpinnya.
Pada intinya seorang pemimpin pendidikan dalam hal ini kepala sekolah hendaknya memiliki kepemimpinan yang jelas dan tegas sehingga upaya-upaya yang telah di rencanakan untuk kemajuan sekolah dapat terealisasi lebih cepat, tepat dan akurat. 


Daftar Pustaka:

Handoko,T H.1992. Manajemen. Edisi ke-2. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM.
Hersey,P. & Blanchard,K.H. 1992. Manajemen Perilaku Organisasi; Pendayagunaan Sumber Daya Manusia, (terjm.) Agus Dharma, Erlangga, Jakarta.
Kambey,Daniel.C. 2003. Landasan Teori Administrasi/Manajemen.Manado: Yayasan Tri Ganesa Nusantara.
Mulyasa.E. 2003. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Penerbit: Remaja Rosdakarya, cetakan 1.Bandung.
Mulyono. 2008. Manajemen Administrasi & Organisasi Pendidikan.Ar-Ruzz Media Jogyakarta.
Permendiknas RI No. 13 Tahun 2007. Tentang Standar Komptensi Kepala Sekolah/Madrasah. Depdiknas, Jakarta
Pidarta, M. 1988. Manajemen Pendidikan Indonesia, Bina Aksara, Jakarta,.
Robbins, SP.1989. Organizational Behavior; Concepts, Controversies and Applications, Prentice Hall International, New York
Sagala, Syaiful. 2000. Administrasi Pendidikan Konteporer.Alfabeta. Bandung.
Sagala,Syaiful .2009. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kepemdidikan. Penerbit: Alfabeta, cetakan 2. Bandung.